3 tahun yang lalu
“Tinggalkan wanita miskin itu, atau Papa coret kamu dari daftar waris!”
“Aku memilih Laras, Pa.” Jawabmu mantap. Sementara aku tertunduk tanpa daya di antara mereka. Menjadi si wanita miskin membuatku seolah sedang berakting sinetron besutan Ram Pundjabi. Jangan begitu Mas, Mas ngga boleh melawan orang tua seperti itu, bisikku dalam hati.
“Aku maunya kamu. Titik!” Ujarmu cepat padaku. Dan membawaku pergi dari rumah istana itu.
2 tahun yang lalu
“Hai istriku.” Sapamu merdu sembari membelai rambutku. Aku terlalu bahagia untuk mengatakan apapun.
“Seandainya saja Papa dan Mama juga hadir di pernikahan kita tadi ya.” Ucapmu lagi, membuatku semakin membisu. Bahagiaku berubah menjadi sebuah rasa yang tak mampu aku namai apa.
“Tapi tak mengapa. Kamu ada di sisiku, dan itu sudah lebih dari cukup.” Aku semakin kehilangan kata.
“Karena, aku maunya kamu. Titik” katamu lagi sebelum mengecup bibirku.
1 tahun yang lalu
“Apa yang terjadi dengan istri saya Dokter?” Kudengar panikmu samar.
“Istri Anda korban tabrak lari Pak. Gegar otak cukup parah. Kami akan berusaha sebaik mungkin.”
“Lakukan semua yang terbaik untuk dia Dok. Saya mohon.” Aku tak pernah mendengarmu mengiba seperti itu.
Tapi tidak ada satupun usaha terbaik yang bisa membuatku membaik sejak saat itu.
6 bulan yang lalu
“Laras..”entah kapan kau datang, atau kau memang tak pernah beranjak dari sana? Aku tidak tahu lagi.
“Ras…kapan kau pulang? Aku mau kamu selalu di sisiku, seperti seharusnya.” Betapa aku ingin memelukmu erat. Pergilah mas, teriakku dalam sunyi, carilah wanita lain, tinggalkan aku.
“Pak Bimo, keadaan istri Bapak masih belum menunjukkan kemajuan…” Jelas seorang dokter yang tiba-tiba saja sudah ada di samping suamiku.
“Dia akan tetap di sini, sampai dia sembuh Dokter.” Katamu cepat. Membuat dokter itu pergi dalam diam.
3 bulan yang lalu
“Kamu kualat Bimo, ini akibat kamu ga nurutin papamu. Lihat istrimu yang bagai mayat hidup itu.” Mamamu datang. Suamiku terluka. Betapa aku ingin bisa memelukmu, atau sekedar menggenggam tanganmu. Mungkin? Mamamu pergi tanpa kata.
Tadi dia benar mas, kataku, aku adalah mayat hidup. Lepaskan saja semua selang dan peralatan ini, lanjutkanlah hidupmu tanpaku mas.
“Tidak Laras,” seolah bisa mengerti aku mas Bimo menjawab, “Aku maunya kamu. Titik”
1 Bulan yang lalu
“Maaf Pak Bimo, ini daftar biaya perawatan Bu Laras, jika Bapak belum bisa membayar hingga minggu depan, Rumah Sakit tidak bisa lagi membantu Pak.” Seorang suster menghampiri mas Bimo-ku yang tengah menatapku.
Kamu hanya menerima kertas-kertas itu dan kembali membelai tanganku.
1 hari yang lalu
“Maafkan aku Laras..” Katamu pedih. Betapa aku ingin memelukmu. Aku mengerti mas, ikhlaskanlah aku, biarkan dokter-dokter itu membebaskan aku.
“Seandainya aku tak perlu melakukan ini, Ras,” Tangismu mulai menggema pilu, “Aku maunya kamu. Titik” Aku tahu mas, aku tahu, jawabku lebih pilu. Tapi terkadang tak semua hal bisa kau kendalikan bukan?
Hari ini
Kau berdiri di sana setelah memelukku, lama. Mematung sendiri dalam diam, sunyi. Baju putihmu membuatmu terlihat tampan, seperti biasanya. Aku tunggu kau di surga ya mas? Pamitku kelu.
Note : 483 kata
Segera menyusul :).
Wow… :O *acung jempol* *Like this*
keren!!!
Oriiin ….. jempol euy
aduh, saya bahkan blom dapat ide x ini hiks
apa sebut2 namaku??
#sorry belum sempat baca…lagi hayaku ngerjain ppt nih… 😀
Hahahahah…. nanti dpt royalti deh 😛
udah baca…
Lah..akhirnya Titik meninggal ya?
“Laras, Tik..Laras….!! Bukan Titik!!” kata Orin
“Aku maunya Titik. Titik!” 😀
Orin…. terus berkarya ya, suka kelincahan bahasa, kedalaman makna akan arti kesetiaan pilihan. Salam
ah tragis…
jadi namanya laras atau titik? hehee becanada… 😀
orin tambah cihuy aja nih 🙂 aku maunya kamu hihihi
hiks hiks….
jadi deg degan sendiri mb’ Orinn
orin makin cihuy 🙂
uuuhh, kereenn pisaann…
singkat2 kalimatnya, namun mak jlebbhh..
Hatiku bergetar baca ini.. T-T
*bukan gombal*
Keren ! :3
Aduh merinding bacanya 🙁
wow! semua jempol utk yg ini, Rin! tambah OK dari hari ke hari ya…
hiks, cinta tak direstui dan… endingnya bikin terharu teh… 😥
terlalu pilu jika jadi kenyataan
Seperti biasa bagus teh.
Tapi sudut pandangnya gak k0nsisten teh, bim0 kadang dipanggil ‘mu’ kadang dipanggil ‘nya’
jadi ngerasa ad 2 orang yang brbeda
Orin : Ameeelll…tengkyu kritikannya, ini aseli ga dibaca lg lgsg publish, emang ga konsisten ya *dasarpenulislabil* qiqiqi, udh aku edit hohoho… tengkyu ya Neng 😉
Pasien koma itu memang masih bisa mendengar. Dulu saat aku masih mahasiswa, selalu diingatkan untuk tidak berbicara macam2 pada orang yang sedang koma. Karena telinganya masih berfungsi 🙂
Orin, tega banget kamu pagi-pagi bikin aku mewek di kantor. Malu tauuuuuuuuuuu..
Orin : hahaha…Bubil nangis… bubil nangiiiis qiqiqiqi
keren…makin keren aja nech Orin…dah jago bikin cerpen yg bagus seperti ini…kalo dah jadi buku minta satu yach hehehe….
merinding bacanya, MANTAB
wah kok mati sih si laras. serem amat.
*rembes* hikss… kenapa ga happy ending??? T_T
ceritanya baguss…
aiih Orin kenapa endingnya sedih siiiih? *protes*
sampe deg2an bacanya… ^_^
Neng orin punya gawe apalagi neeh? lama gak blogging disuguhin cerita super pendek yg mengaduk aduk perasaan (aku baru baca dua judul)
waww..
endinya selalu gak ketebak ye
lanjut cyin
termenung lama ketika ceritanya berakhir.
sepertinya hati kecilku tak ingin endingnya begitu 🙂
Pingback: Si Odol Masochist « Rindrianie's Blog