Hujan tiba-tiba saja turun ke bumi setelah siang yang terik. Tanpa aba-aba mendung, nyaris tanpa suara gelegar petir. Syahdu, seolah sang hujan ingin menyapa semesta sebagai dirinya sendiri, bulir rintik air penyejuk jiwa.
Hei, kenapa aku mendadak seperti pujangga? Aku tertawa sendiri.
Lantas aku beranjak ke sebuah kios rokok kecil. Atap seadanya hampir tidak bisa melindungiku dari tampias hujan, tapi dari tempatku berdiri, aku bisa melihat ke arah sana, ke arah zebra cross yang tiba-tiba saja lengang, dan aku menikmatinya.
Jalanan di depanku seketika macet. Klakson bertubi bersahutan dibunyikan. Mobil, motor, bahkan sepeda yang satu dua ikut menyempil seperti resah, menyalahkan hujan yang membuat mereka terlambat tiba di rumah. Padahal di saat yang sama, anak-anak pengojek payung terlihat ceria, hujan tiba-tiba seperti ini berarti tambahan lauk untuk makan malam mereka. Atau warung kopi di seberang sana yang mendadak ramai. Atau si kios rokok tempatku berdiri ini yang juga tidak lagi sepi.
Tapi kenapa aku tiba-tiba saja peduli? Lagi, aku tertawa sendiri.
“Pak, pulang yuk, Pak.” seorang gadis berpayung biru entah datang dari mana sudah berdiri di depanku. Aku merasa mengenal dia, sekaligus tak bisa tahu siapa dirinya. Maka aku bergeming. “Laras bikin pisang goreng lho, Pak. Ada kopi hitam juga kesukaan Bapak. Yuk pulang, yuk.” ucap si gadis berpayung biru lagi, suaranya yang tersenyum membuatku menuruti pintanya.
Sepiring pisang goreng dan secangkir kopi hitam di malam hujan seperti ini adalah pasangan sempurna, seperti aku dan Sulastri, tak terpisahkan. Tapi, dimana dia?
“Lastri?” tanyaku pada si gadis di sisiku.
“Ibu sudah pulang, Pak. Tadi pagi Bapak ke makam ibu lho, bawa bunga lily, ingat kan? Tadi Bapak cerita, di makam Ibu Bapak sempat…” suara si gadis menghilang, hanya terdengar samar di telingaku, ucapannya tadi membuatku tidak mengerti.
Lastri sudah pulang katanya? Lantas kenapa aku masih ada di sini? Dan sekali lagi, aku tertawa sendiri.
Note : 304 kata, menulis saat mata mengantuk jadinya se-geje ini ternyata hihihi. Sila klik bannernya untuk ikutan Berani Cerita yaa 😉
meski katanya ge-je…tapi tetap menyentuh. Khas Orin. 🙂
___
iya nih bang, akhir2 ini fiksiku kenapa begini semua ya *berpikir*
waduh mbak, geje-nya aja keren begini… so sweet ceritanya 🙂
___
makasih ya Rika 😉
nah kan, semua juga bilang, gejenya Orin itu keren … 😀
___
hatur nuhun ibuuu^^
Geje koq keren ya Orin hihi
___
masa sih Non? *tersapu-sapu malu* hihihihi
jadi , akh mbak orin
___
Kenapa Masya? 😛
semoga AM kelak gak harus begitu.. aamiin.. #doanya eMak kenceng nih.
___
Aamiin…semoga ya Mak
sukaaaa …
aku jadi ingat sebuah cerpen yang tokohnya orang ‘gila’. Cerpennya menyentil kesadaranku, jgn2 yang normal itu justru mereka yang kita anggap gila. Aku lupa judulnya, pengarangnya kalau nggak salah Putu Wijaya … *malah komen OOT …
___
Wah? Putu Wijaya?? cari ah cerpennya..
Blm bisa menerima kematian istrinya, ya, makanya jd keliatan stress
___
iya mba Chi, agak sedikit ‘gila’
Keren euy tulisan Orin ini. Bunda suka banget sama yang ini: …………..i, suaranya yang tersenyum membuatku menuruti pintanya. Salut.
___
Makasih Buuun *peluk*
Emang geje, sih .. Tapi tetep oke! Hehe
___
hehehehe…tengkyuuu^^
nice.. as always… ngiriii…. *hm…knapa macetku gak ilang2 ya? haha…
ceritanya keren. rangkaian kata-katanya itu loh yang bikin kita terbawa suasana alur cerita.
___
Terima kasih 🙂