Kemarin, Pak Karyo membeli satu sangkar burung lagi, jerujinya bercat hijau muda, ukiran di pintu kecilnya berwarna biru cerah, sementara tutup dan alasnya merah delima. Sangkar burung yang semarak. Aku cukup menyukainya, walaupun itu juga berarti tambahan pekerjaan buatku, karena setiap sore, kadang aku yang harus membersihkan si sangkar burung miliknya.
Padahal, sudah ada sekitar tiga puluh-an sangkar burung di halaman belakang, lengkap berisi perkutut, kenari, merpati, parkit, beo, murai, kakaktua, kutilang, dan entah burung jenis apalagi. Ada yang berisik berkicau hampir setiap saat, ada yang pintar menirukan Pak Karyo berbicara, ada yang cakap berputar-putar dalam sangkarnya, ada juga yang hanya bertengger diam seraya terkantuk-kantuk. Haha, dua bulan bekerja di rumah ini ternyata sudah sanggup membuatku tahu tentang burung.
“Tiiiiiiin, buatkan kopi!” Itu suara Pak Karyo, teriakannya sayup terdengar, pasti suara itu berasal dari ruang tamu, yang merambat melalui ruang TV dan ruang belajar, hingga memantul di dapur tempatku menatap iri burung-burung pemilik sangkar yang indah. Tergesa, aku membuat dua cangkir kopi tubruk untuknya. Mungkin tamunya lebih dari satu orang, tapi aku tidak punya waktu untuk mengintip ke ruang tamu lantas balik ke dapur, kalau kurang ya nanti aku buat lagi. Pak Karyo tak segan menampar pipiku kalau aku kurang sigap dalam bekerja.
“Ngga bisa kurang lagi toh?” Tanya Pak Karyo pada tamunya saat aku menyuguhkan kopi yang aku buat. Tamu itu seorang pemuda seusiaku, kelihatannya ramah dan sopan, tapi tentu saja dia melirik ke arahku pun tidak. Mungkin seorang babu memang kasat mata, tidak terlihat karena tidak begitu penting, kecuali untuk menjadi budak membereskan rumah dan semacamnya.
“Itu sudah diskon, Pak,” ujar si tamu. “Ini murai batu yang langka, kemarin saya jual 2 juta lho, karena sudah langganan, makanya saya diskon 100 ribu”. Sayup, aku masih bisa mendengar suara pemuda itu, sebuah kalimat yang membuatku terkejut hampir semaput. Harga seekor burung bisa sampai 2 juta?! Gajiku satu bulannya saja cuma lima ratus ribu. Ternyata menjadi seekor murai atau kenari atau perkutut jauh lebih berarti daripada seorang babu, setidaknya bagi Pak Karyo.
Kembali ke dapur, aku merasa begitu sakit hati melihat sangkar-sangkar burung beraneka warna yang bergelantungan di halaman belakang. Tahu bahwa burung-burung di dalamnya berharga hampir 4 bulan gajiku, membuatku muntab. Entah apa yang menggerakkan tanganku, kuambil pemantik yang pernah digunakan Ibu Karyo untuk menyalakan tungku barbekyu, kudekati sangkar burung pertama, berwarna keemasan dengan seekor parkit berekor biru di dalamnya. Api kecil mulai melahap bagian bawah sangkar, membuat si burung terbang panik membentur jeruji kepanasan, bunyi derak kayu yang dilahap api membuatku tersenyum, dan semakin bersemangat memantikkan api ke sangkar berikutnya.
“Titiiiiiiiiiin!!! Apa yang kamu lakukan?” Suara Pak Karyo! Aku tahu dia murka, tapi aku tidak peduli, mungkin setan memang sudah merasuki tubuhku sejak tadi, mungkin aku cuma sakit hati, aku terus menyalakan pemantik membakar sangkar burung demi sangkar burung.
Hingga Pak Karyo tak hanya berteriak, tetapi mengejarku, lantas menjambak rambutku, lantas merampas pemantik apiku, lantas mulai memukuliku bertubi-tubi, lantas menendang badanku berkali-kali, lantas aku tak lagi bisa bergerak sama sekali.
Note : 488 kata, geje banget ya hahahaha. Eniwey sila klik bannernya untuk ikutan Berani Cerita yaa 😉
Hahhaaa,… kalah saing sama burung
___
heuheu…iya, kesian dia 😛
😀
mending kabur bawa burung, trus dijual…. bisa jadi juragan burung
___
iyaa…harusnya gitu ya bang he he
ga ngikutin cerita dari awal jadi agak kurang paham. ke TKP post sebelumnya dulu ah, sekalian blogwalking
___
selamat blogwalking^^
errr
burungnyaaa
___
heuheu
maksutnya akhirnya dia mati? huaaa gara2 burung huhu
___
ngga Non, pingsan doang dia :))
Pingsan?? Tak bergerak sama sekali?? Klo klik banner itu dan taro di blog syaratnya harus ksh cerita brp kali dalam sehari atau seminggu atau sebulan? Gmn syaratnya hahahaha… Jd aneh komennya :p
___
Ini tantangan menulis flashfiction tiap minggu Ristin, bannernya setiap minggu berbeda, temanya jg beda2 🙂
Oriiin,..
trus kumaha inih nasib si Titin teeeh?
lanjut atuh, jangan gantung gini 🙁
___
Sok atuh Bi, mau ngelanjutin? hihihi
Aduhhhh… ikut nyeri bacanya… si titin jd gimana itu nasibnya?
___
mihihihi…dia baik2 aja kok mbak nantinya 😀
iya, geje. hehehe
___
hahahaha…iya baaang 😛
haduh kok sadis banget cerpen yang ini rin… 😛
setuju sama mas jampang, daripada dibakar mending dijual atuh tiiiin 😀
Ah Titin, padahal jangan dibakar. Burungnya dikasih kopi aja biar sama kayak tuannya. Cuma bedanya kopi buat burungnya ditambahin Ba*gon dikit biar “nendang”
loh koq jadi sadis Neng Orin, gegara ngiri dan nyeri hate…
Salam
cemburu membakar sangkar ya teh..haha