Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata. Β Tak ingin saling melepas, berharap detik berhenti berdetak, dan kami berdua membeku abadi bersama sang waktu.
Tapi tentu saja itu tidak mungkin terjadi, Vivienne akan tetap pergi, suka atau tidak, dia tidak memiliki pilihan lain, selain meninggalkankanku. Dan aku, akan tetap sendiri bersama sepi di rumah ini, merana tanpa kehadiran dirinya, seperti seharusnya. Menyedihkan.
Mungkin aku bisa menculik Vivienne. Melarikannya ke sebuah desa yang jauh dari semua orang yang pernah mengenal dia. Hidup berdua dengannya di rumah sederhana penuh cinta hingga selamanya. Aku yakin gadis jelita itu akan menuruti semua pinta dan inginku tanpa bertanya. Walaupun ide gila seperti ini bisa membuatku berakhir di penjara, tapi tidak apa-apa, bukan?
Atau, mungkin aku bisa membujuknya saja, merayunya dengan semua benda kesukaannya, memohon padanya untuk menolak pergi dan tetap di sini bersamaku.
“Viv…” kalimat yang sudah di ujung lidah ternyata tak mampu aku selesaikan. Detik berikutnya, aku hanya mampu memeluk tubuhnya, sekali lagi, lebih erat. Dan kali ini, tanpa malu terisak dalam dekapannya. Aku tak peduli lagi jika Vivienne menganggapku seorang lelaki cengeng yang tak bisa menahan air mata di depannya. Dia mungkin tidak akan pernah tahu sedalam apa cintaku untuknya. Sungguh, aku rela mati untuknya.
Bagaimana aku akan menjalani hari-hariku tanpa dirinya? Bagaimana malam-malamku akan berlalu tanpa mencium keningnya sebelum tidur seperti biasanya? Bagaimana aku bisa bertahan tanpa membelai lembut rambut panjangnya saat dia bercerita tentang segalanya? Bagaimana mungkin aku…
“Mas, taksi kami sudah menunggu,” suara Lita memutus lamunanku, “Mas bisa bertemu Vivienne kapanpun mas mau di rumah Ibu di Bandung, jangan lupa mengabariku dulu. Aku adukan ke polisi kalau mas menemuinya diam-diam, karena itu artinya mas tidak mematuhi keputusan hakim. Cukup jelas kan, mas?” Istriku, ralat, mantan istriku meracau panjang lebar. Dan aku hanya mengangguk pasrah.
Vivienne -dengan matanya yang masih basah- menatapku dalam diam. Tangan mungilnya melambai mengucap perpisahan, matanya memintaku untuk ikut bersamanya, tapi itu tidak mungkin lagi. Aku terlanjur mengkhianati cinta ibunya, kesalahan fatal tak termaafkan yang harus aku bayar dengan kehilangan dirinya. Seandainya aku bisa kembali memutar waktu…
Note : 347 kata, sila klik bannernya untuk ikut Berani Cerita yaa π
wow, twistnya kerren. suka ^^
___
heuheu…tengkyu mbak Na π
oohhh viviene…….. ceritanya gut mbak,, hampir nangis loh,, π
___
wahhh…makasih ya bundagawul π
hiks..kasian sih ama “aku”nya…paling pedih itu klo hrs berpisah sama anak..tapi ya salah sendiri knp berkhianat.. *kok jdi kayak curcol π
___
moral of the story : jangan selingkuh kali ya hehehe
Oh, anaknya? Kiraiiin… :O
___
hehehe…begitulah π
penyesalan emang selalu aja dtg belakangaaaaannnn π
___
hihihihi…iya mba Chi π
Vivienne anaknya, Lita ibunya! Hehe, tumben gue mudeng? Xixixi
___
jadi sebelum2nya ga mudeng yah? qiqiqi
Aaaaahhh sukaaaaa, buruan nulis novel Teh π
___
hehehe, tengkyu Dang. Aamiin, semoga ya^^
Iya bikin novel dong orin
___
ahahahah.. eh, Aamiin..semoga ya Non :))
huwaaa… kasihan vivienne.. tapi gmn lagi, akibat kesalahan bapaknya.
___
Iyaa…biarin aja bapaknya kena ‘hukuman’ ya hehehe
Hihihihihi…judulku sama, Orin π π
Nah, pelajaran berharga untuk tidak main mata lagi
___
ahahahaha….sehati kita ya buCho *ketjup*
kecele, ternyata bapak dan anak hehehehe
___
ah senangnya ada yg kecele #eh? qiqiqiqi
tulisannya, ceritanya bagus banget,, makasih mbak.. π
___
Terima kasiiiih^^
serasa menjadi “aku”
tapi di luar bagian selingkuhnya π
___
hehehehe
Kasihan juga dong Viviennenya… ^^d
___
Iya, kasian dia terpisah dari ayahnya ya
aku ketipuu.. kirain mau bawa lari gadis tetangga sebelah..:D
___
mihihihi…maabh ketipu ya Yu π
Cinta sampai berani mati?
SO sweeet Mbak… π
___
eh? hehehe