Kata orang-orang, aku adalah perempuan yang cukup cantik. Tidak bisa tidak, aku terpaksa mempercayainya, walaupun sesungguhnya aku tidak merasa demikian. Kenapa bisa begitu? Begini ceritanya, kawan.
Wajahku yang bulat dipenuhi bekas jerawat, kulit sensitif-ku tak bisa betul-betul disembuhkan. Debu, sinar matahari berlebihan, stress, bahkan hanya ‘sekadar’ terlalu banyak makan dairy product akan mengundang si pimple kecil itu di sana sini, menyebar di dahi-hidung-pipi-dagu, wajahku selalu semarak!
Untunglah kulitku memang putih, keturunan dari ibu yang keturunan orang Tasik yang turun temurun (katanya) berkulit putih. Entahlah. Tapi terkadang aku memang lebih putih dari teman-temanku yang Chinese, aku seringkali menjadi seseorang yang nyempil paling putih sendiri saat foto bersama saat kenaikan kelas, dan tak pernah merasa perlu termakan iklan krim pemutih wajah di iklan-iklan TV.
Dahiku lebar, nongnong orang Sunda menyebutnya. Tapi entah kenapa, aku tidak pernah merasa harus menutupinya. Dulu saat belum berhijab, aku tidak berponi, sekarang pun, aku membiarkan saja sang dahi terlihat seolah bersinar dengan lebarnya. Ha ha!
Mataku kecil, bukan sipit, hanya kecil. Yang akan semakin bertambah kecil -dan terkadang sama sekali ‘hilang’- saat aku tertawa. Saat aku berdialog, mata itu akan mencari sepasang mata si lawan bicara, jika tidak, maka sebetulnya pembicaraan itu sudah tidak menarik lagi buatku. Ah, seharusnya itu menjadi rahasiaku sendiri saja, tapi seperti kedua mataku yang tak pernah bisa berbohong, aku juga tidak terlalu suka menyimpan rahasia.
Bola mataku hitam. Dulu, aku sempat ingin memakai contact lense berwarna coklat, karena sepertinya akan membuat mataku lebih keren, untunglah niat itu batal. Bulu mataku tidak terlalu lentik, tapi aku tidak suka memakai maskara, tapi aku pernah menggunakan bulu mata palsu, dan selalu lebih suka bulu mataku yang biasa-biasa aja ini. Alis mataku juga biasa saja, aku tidak membentuknya seperti pecut, atau mentatonya supaya lebih meliuk, aku membiarkan saja dia seperti apa adanya.
Hidung? Hmm…bagaimana aku harus menjelaskan hidungku padamu, ya? Hidung itu biasa-biasa saja. Tidak terlalu mancung, tidak terlalu pesek, tidak terlalu besar, tidak terlalu imut, semuanya serba tidak terlalu. Hidungku hidung yang biasa-biasa saja. Dengan dua lubang seperti seharusnya, dengan tulang hidung seperti seharusnya. Tapi aku tak punya bulu hidung! Yeah, sepintas itu mungkin terlihat tidak penting. Tapi menurut para dokter THT, hal itulah yang selalu membuatku alergi debu, dan cenderung pilek melulu, karena tak ada bulu-bulu halus yang bisa melindungi hidungku.
Pipiku gembil, atau chubby, atau berisi, atau cempluk, atau apapun lah. Pipi itu membuat wajahku yang sudah bulat terlihat semakin bundar. Pipi itu seperti menelan habis sang tulang pipi yang tak lagi bisa terlihat. Well, setidaknya, pipi itu adalah salah satu bukti aku cukup makan, bukan?
Bibirku termasuk tipis, dan cenderung berwarna merah muda walaupun tanpa lipstik. Aku sering menyuruhnya tersenyum, tersenyum hinggi gigi geligiku terlihat, tersenyum hingga ujung mataku berkerut-kerut, tersenyum hingga pipi chubby-ku terangkat, tersenyum hingga seluruh bagian wajahku juga ikut tersenyum.
Lupakan rambutku, dia lebih suka bersembunyi di balik selembar kain yang sudah setia menemani keseharianku di luar rumah selama bertahun-tahun. Lupakan juga bagian-bagian tubuh yang tak bisa aku ceritakan. Tubuhku tidak terlalu tinggi, tapi beratnya memang sudah terlalu berlebihan. Aku ingin menertawakannya saja, tapi kadang tak bisa, karena sebetulnya aku kecewa, aku tidak terlalu pintar menjaga tubuhku sendiri rupanya 🙁
Tapi aku memiliki dua tangan yang sempurna, lengkap dengan kesepuluh jemari yang bisa aku ajak menari-nari di atas keyboard. Aku juga memiliki sepasang kaki yang selalu bersedia mengantarku berpetualang. Aku memiliki semua indera yang memungkinkanku menikmati segala rasa. Tubuhku sempurna, sempurna menurutNYA bagi seorang aku, aku yang -sayangnya- bukan siapa-siapa dan tidak (atau belum ?) menjadi apa-apa.
Nah, apakah kau masih berpikir aku adalah perempuan yang cukup cantik?
***
*Ditulis untuk #tantangannulis @Jiaeffendi
tantangan nulis dari mana in, mbak? sukaaaakkk 🙂
___
Dari Jia Effendi mbak Is, ayo ikutan, klik aja link-nya 😉
Kereeeeeennn.. 😀
___
hahaha…Tengkyu mbak^^
ini deskripsi mbak orin yah…?? Asli masyallah…menurutku sangat cantik..:) bagi kulit putihnya dikit dong mbak…biar ketularan emak kinan..
btw selamat menjalankan ibadah puasa mohon maaf lahir dan batin…:)
___
mihihihi….ngga kok mbak, biasa ajaaaah 😛 Sama2 ya mbak, mohon maaf lahir dan batin juga :))
setiap wanita itu cantik, Teh, seperti apapun kondisi fisiknya. Karena bagiku, yg cantik adalah wanita, dan yg tampan adalah pria. ga ada manusia yg jelek karena manusia adalah cipataan-Nya yg paling sempurna. akhlaq dan sifatnya lah yang menjadi penentu ia bs dibilang jelek 😀
___
Iya Sarah, tidak perlu diperdebatkan lagi ya hehehe
Kata “yang” di judul harusnya pakai huruf kecil bukan?
___
Siyap Om, udh aku edit. Terima kasih koreksinya ya^^
Kalo menurut gw sih cantik Rin. Dari yang ditulis di sini ya.. 🙂
___
ahahahaha…berarti deskripsi gw ini cukup ‘menipu’ ya Dan *ups* qiqiqi
Cantik itu apa adanya …
dan satu hal … jangan lupa Rin …
I always call you … The Smiling Face
wajah yang selalu nampak tersenyum …
Salam saya Orin
___
Om, terima kasih banyak ya, untuk “The Smiling Face” yg Om tujukan untuk Orin^^
Orin cantikkk .. eh kok sama ya nggak punya bulu hidung, aku juga alergi debu dan sering bersin2 gitu. Ternyata ada yg nyamainnnn 🙂
___
Horeeeyyy ada temennyaaa, iya mbak, aku hobby bgt bersin dan gampang pilek :((
Cantiik.. Aku udah pernah ktemu 🙂
___
makasih Kaaa *tersapu2 malu* 🙂
Yang membuatmu cantik adalah bibir yang tersenyum tulus itu mbak 🙂
___
makasih mbak Esti^^
aduh, membacanya sambil membayangkan mb Orin… 🙂
___
hehehehe…semoga cukup terbayangkan Tt chan 😀
cantik mbak 😀
___
heuheu…tengkyu^^
Pingback: [tantangan menulis] deskripsi diri | Jia Effendie
Meski baru liat di photo2, tetap cantiiik menurutku. . .
Dan entah kenapa ketika saya membaca “………..tersenyum hingga pipi chubby-ku terangkat, tersenyum hingga seluruh bagian wajahku juga ikut tersenyum” koq saya spontan tersenyum gitu, Teh. Hihihihihi
Salam Senyuuum, Teh Orin Cantik. . .
___
ahahahaha….terima kasih Idaaah, Salam senyum^^
pertama kali dengar panggilannya Orin, tak kirain orang Jepang. tapi baca deskripsinya – memang putih – tetep aja ah… orang Jepang aja. 😀
___
heuheu…orang Sunda saya mah mas 😀
Makin dijelaskan makin terasa kecantikannya.
___
hoalaaahhh….*tersapu malu* hihihihi. makasih Bun^^
Deskripsi nyatakah, Rin?
___
Iya, masih terasa fiktif ya? qiqiqiqi
cantik dan seger kalau lihat Teh Orin mah hehe
___
Errr….terdengar seperti sop buah ‘Ne, cantik dan segar qiqiqiqi. Tengkyu yaa 😉
Deskripsi diri Orin secantik fiksi-fiksi yang dihasilkan oleh jemari cantiknya. Bagi ibu, Orin sungguh sangat cantik. Salam
___
heuheu…matur nuwun Ibu^^
putih dan cantik mbak 😛
___
hehehe…tengkyu mbak El 🙂
Tubuhmu beserta kelengkapannya sudah sempurna Teh 🙂
___
Iya Tante, Alhamdulillah^^
Cantik dan eksotis.
___
waduh? eksotis? hihihihi
emak kelewat postingan ini.. kmrn rariwuh wae.. 😛
bagi emak cantik itu dirasakan bukan dilihat..
dan bisa emak pastikan perempuan chubby pd cerita di atas itu cantik, mutlak..!!
___
siapa dulu emaknya! *sigh* hihihihi
Cantiiiiiikkkk 😉
___
hehe…tengkyu Dang^^
Cantiiik… [njawab pertanyaan terakhir]
Suka ngiri sama yang bibirnya merah muda. Bibir sayah gelap kaya perokok. Padahal bibir jadi item gini karena pernah gosong dan mengelupas saat sakit demam tifoid pas kecil dulu T_T
___
Tengkyu Noi. Nggapapa, dirimu tetap cantik kok dg bibir ituh 😉
Orin cantik gitu kok
___
hehe…nuhun Teh 🙂
orin geulies, ceuk orang sunda mah
___
hahahaha…nuhun Rina geulis^^
Saya nggak ada cantik2nya Mbak…
___
Tentu saja, pak mars kan ngganteng 😉
tetep cantik sayaaang, terutama karena ada bahagia & ketulusan yang berbinar & mencerahkan wajahmu 🙂
___
hehehehe…makasih auntieee
iya mbak cantik 🙂
___
heuheu..terima kasih^^
Saya percaya, kamu memang cantik..
___
terima kasih 🙂
Pingback: [tantangan menulis] menambahkan konflik pada karakter | Jia Effendie
syukuri saja apa yang sudah ada dan kita miliki