Cerita sebelumnya, day#3
***
Aku hirup dalam-dalam udara Toba yang segar ini sekali lagi. Kilauan air danau yang memantulkan sinar mentari pagi di depan sana seharusnya bisa menjadikan perjalananku ke sini menyenangkan. Seandainya saja aku bisa memutar waktu, aku tidak akan menyusul Rio hanya untuk tahu dia berselingkuh.
“Pulang hari ini mbak?” Seorang wanita cantik menyapaku ramah. Aku pikir usianya sekitar 35 tahun-an, jauh lebih tua dariku. Tapi kenapa dia memanggilku ‘mbak’? Apakah aku terlihat tua? Apakah itu alasan Rio mencari perempuan yang masih belia? Seperti gadis yang aku lihat dengannya kemarin sore itu?
“Iya.” Jawabku pendek, tersenyum basa basi, dan kembali menikmati panorama di depanku, mengabaikan si wanita di sampingku. Pasti koperku ini yang membuatnya segera tahu aku akan segera meninggalkan surga di pulau eksotis ini.
“Ikhlaskan saja mbak, mungkin dia bukan yang terbaik untuk mbak.” Hah? Apa maksudnya? Aku menoleh cepat ke arahnya dengan mata penuh tanya. “Mbak harus tetap bahagia, walaupun tanpa pria yang sudah menyakiti mbak,” wanita itu tersenyum, kemudian berlalu dari hadapanku begitu saja.
Aku ingin mengejar wanita itu, tapi seorang pegawai hotel datang, memberitahuku mobil yang akan mengantarku hingga Parapat sudah siap. Mau tidak mau harus aku urungkan niatku mengejarnya, aku tidak mau ketinggalan pesawat.
“Heiii….tungguu…” seorang lelaki berteriak saat aku beranjak menuju mobil yang sedang terparkir. Dengan terengah-engah lelaki itu berdiri canggung di depanku. “Kamu…kamu si kerudung merah yang datang di mimpiku. ” Hah? Lelucon apalagi ini? “Akhirnya aku bisa menemukanmu juga.” Dia terlihat senang.
“Heh bung, maksudnya apa ini?” Tanyaku galak, belum tahu dia aku pun berdarah Karo walau tinggal di Bandung.
“Tenang dulu Dik, bisa saya jelaskan.. ” Lelaki itu tergesa meminum air mineral yang dibawanya. “Nama saya Arfan.” Siapa juga yang peduli siapa namanya?
“Ada perlu apa bung Arfan mencari saya?” Lelaki ini sepertinya orang baik-baik, sebetulnya cukup tampan juga, dengan keringat yang masih mengkilat di keningnya, dia terlihat sangat macho. Bahunya yang bidang memungkinkan siapapun yang bersandar di sana akan merasa aman. Yuhuuu…kembalilah ke bumi! Teriakku dalam hati.
“Bundo Rahmi bilang, saya harus mencari gadis berkerudung merah di tepi danau Toba.”
“Bundo Rahmi? Dia itu ibumu? Aku tidak suka orang Padang.”
“Saya ini wong kito Dik, bukan orang Padang. Lagipula kenapa tidak suka orang Padang?” Aku diam saja, wajahnya yang tadi kemerahan berangsur normal. Selain putih, bulu matanya juga lentik untuk ukuran lelaki. “Dia hanya memberitahu saya lewat mimpi, bahwa jodoh saya adalah seorang gadis berkerudung merah yang akan saya temui di sini.” Lagi-lagi lelaki ini meminum air mineralnya, kali ini hingga botol itu kosong. “Tak saya sangka akhirnya saya menemukan gadis itu.” Dia tersenyum. Manis.
Aku melepaskan selendang merah yang tadi aku pakai sebagai kerudung dan menyampirkannya di bahu. “Bagaimana kalau ternyata aku bukan yang kau cari? Lihat, ini hanyalah selendang.” Aku melepas rambutku yang terikat dan membiarkannya menari bersama angin.
Lelaki itu menatapku beberapa detik. Terpesona mungkin? Klakson mobil memanggilku. Menyelamatkanku dari seorang lelaki bernama Arfan yang sebetulnya tampan. Baiklah, dia memang lebih tampan daripada Rio keparat itu. Hei, apa yang sedang aku pikirkan?
“Dik, simpanlah kartu nama saya ini. Jika suatu saat Adik pergi ke Palembang, mungkin saya bisa menjadi guide Adik selama di sana.”
Arfan Kautsar / Warung Pempek Wong Kito / Seberang Ilir – Palembang / 0711-4867 653
“Bung Arfan pemilik warung ini?” Lelaki itu tertawa, giginya putih berbaris rapi. Gelaknya membuat hatiku menghangat. Lelaki rupawan yang menawan.
“Semacam itulah Dik. Warung kecil saja.” Jawabnya malu. Aku mulai berpikir mungkin lelaki ini yang dikirimkan Tuhan untuk menggantikan tempat Rio. Dan perjalanan ke Toba memang menyenangkan, seperti seharusnya.
Aku membuat diriku nyaman di dalam mobil. Abang supir rupanya masih melakukan sesuatu di lobby. Lelaki itu masih berdiri di sana, tersenyum memandang ke arahku, dia tidak tahu aku pun menatapnya dari balik kaca.
“Bung Arfan, siapa Bundo Rahmi?” Tanyaku seraya menurunkan kaca jendela. Dia tersenyum. Menyodorkan aku selembar potret yang sedikit lecek. Kuberikan padanya selendang merah yang kupakai.
“Hati-hati di jalan ya, Dik” bisiknya pelan hampir tak terdengar. Tangan kirinya menggenggam selendangku erat. Mobilku bergerak meninggalkan dia dan Toba hingga menghilang dari pandanganku. Senyumku tak berhenti mengembang. Aku bahkan lupa tak memberitahunya namaku. Bodoh.
Aku baru sadar tanganku masih menggenggam potret Bundo Rahmi, mungkin pertanda lain suatu saat nanti aku akan bertemu Arfan untuk mengembalikan potret ini. Hei, bukankan wanita dalam potret ini adalah wanita yang menggangguku tadi?
Note : 699 kata, bersambung ke day#5
#eeaaa….semakin membingungkan binti geje stadium akut mihihihihihi
duh semakin menghantui dan meneror banyak orang nih Bundo rahmi, hihihi. aku bisa merasakan seperti apa kerasnya Teh Orin mencari ide untuk si Kerudung Merah 😀
___
Iya Saraaaaah, FF hari ini kurang memuaskan, malah bsa dibilang mengecewakan buatku #eaaa curcol
hihihihihi
HEmph, mantap dah, saat bersemi, hati menari kian kemari tanpa peduli ada lubang di sisinya, itulah cintrong, :D,
Salam dari bekasi.
___
salam juga dari sesama warga bekasi 🙂
Wehehe dari bekasi juga rupanya,
ralat ah salam nya.
dengan sepenuh hati saya ucapkan salam penuh kesejukan dari bekasi utara :D.
siapa bundo rahmi? kok gak bundo adel ajah
segitu geje segimana yang engga ya rin 😀
___
plotnya maksa bgt + terlalu dipersingkat Kak, jadi geje deh qiqiqi
kebayang bengongnya tiba2 ada seseorang menyapa trus menasehati qta tanpa qta tau siapa dia…..hihihi
*olohok bari ngacay tea gening Rin*
kyk kejadian td pagi waktu nungguin rafi les renang
dgn tiba2 ada ibu2 diatas umurku dikit gak kukenal tau2 duduk di sebelahku dan curhat abis tentang anaknya yg pd berantem mulu
dan aq pun hanya bisa nyengir kuda….hahaha
___
Olohok bari ngacay? hahahaha…udh lama ga denger istilah ini Teh.
betewe eta si ibu karunya pisan nya, ga punya temen meureun Teh, jd curhat sm orang asing 😀
Orin mantabbb…. kenalin dong sama bunda Rahmi
___
eyampun Teh, geje beginih dibilang mantab 😛
arfan ini pemilik warung tempat sarah beli tekwan y teh?
___
Seratus buat Amel 😉
Ini gk geje Teh, ini keren!!
___
makacih Tt chan^^
setuju.. setujuuhh..
___
Ish, eMak ikut2an ajah 😛
ah, tak apa jika kau tak suka orang padang..
Bundo Rahmi itu orang bukittnggi, nak..
ok Rin.. semakin seru. 😛
___
Udah Orin kasih tau jg Mak, orang Padang beda sama orang Bukik hihihihi
Menjadi pembaca ajah dulu…
Semakin kepo deh niar mbak rie, ayoo di selesaikan masih ke 4 kan yaa 😀
___
makasih udh baca ya Niar 🙂
aah…itu kartu nama jangan sampe ilang ya…sama pentingnya dg foto lecek si bundo..hehe…
___
Skrg foto si Bundo siapa yg pegang ya Auntie *mikir*
Saluutt Oriiin, setting Jam Gadang – P Lengkuas – Musi Palembang – Toba, smoga jadi awal kelahiran novelnya Orin. salam
___
Aamiin, semoga ya ibu^^
gregetan knapa tadi gak ngeh kalo itu bundo rahmi, lain kali lebioh perhatian lagi ya 😀
___
met gregetan ya Teh qiqiqii
wah cerita nya sangat menarik sob….^_^
sepertinya bersambung ya Rin…jadi novel nich….heheh
Riiiiinnn…
Aku belum mood sama sekali ikutan 🙁
kenalin dong ama bunda rahmi nya 😀
Kenapa ngak suka orang Padang, Oriiin?
Sebaian darah saya ada darah Minangkabau-nya juga lo…
😀
Ah, ah, makin hebat aja nih Orin bikin cerita fiksi, makin mengaliiiir banget bahasanya…keren!
“Nak Arfan…”, sapa seseorang.
“Iya Bu.. Ada apa?”
“Siapa sebenarnya yang sedang kau cari? Perempuan kerudung merah atau Bundo Rahmi?”
“Awalnya Bundo Rahmi, tapi pesona perempuan kerudung merah itu mengalahkan segalanya. Pencarian Bundo Rahmi sudah tidak menantang lagi bagi saya…”
Sok mau jadi pereview nih Rin, kekuatan penulisannya Orin tuh di twist yang bahkan cuman sebaris terakhir aja. Hooo Riiiin, buruan terbitin satu buku duooongggg….
Pingback: CerBung – Cerita Bersambung | danikurniawan