Seharusnya aku memang tidak perlu berdekatan dengan lelaki semacam dirinya. Bahkan di pertemuan pertama, aku mencium aroma bahaya yang menguar dari tubuhnya. Tapi bagaikan laron yang memuja cahaya, aku terperangkap dalam pesona cinta berbahaya miliknya.
“Sejak kapan kau memilikinya?” tanyaku menunjuk lukanya. Lelaki itu hanya tertawa. Bekas luka itu begitu panjang, dari pangkal paha dalam dan baru berakhir saat hampir menyentuh lutut. Kusentuh luka itu perlahan, dari ujung ke ujung, lelaki itu terlihat begitu menikmatinya, mengerang pelan seraya memejamkan mata.
“Usiaku sepuluh saat luka itu hadir,” jawabnya kemudian.
“Kau melakukannya sendiri?” Lelaki itu tertawa lagi tanpa menjawab apapun, dan aku tahu itu artinya ‘iya’.
“Kau mau tahu bagaimana rasanya?” Aku memandangnya, tak mengerti. “Terkadang rasa sakit itu memberikan kenikmatan yang…tak tergambarkan.”
Kudeguk ludah. Takut, jeri, sekaligus penasaran. Apalagi saat tatapan matanya seolah menyihirku untuk segera mengangguk. Maka siatan pertama -yang cukup panjang meski tidak terlalu dalam seperti miliknya- terlukis di punggungku saat malam hampir bertemu pagi.
***
Seharusnya aku memang tidak perlu berdekatan dengan lelaki semacam dirinya. Lelaki itu seperti candu yang membuatku ingin terus menerus mabuk, seperti racun yang rela kutenggak berkali-kali, seperti api yang membakarku perlahan hingga menjelma abu.
Tapi aku terlanjur cinta.
Lihatlah,dia sedang mengayun-ayunkan pemukul kasti dengan senyumnya yang menawan. Tongkat itu sebelumnya sudah kuhantamkan ke kepalanya, berkali-kali, hingga tawa nikmatnya berderai terdengar. Sekarang giliranku, dia akan segera membedal kepalaku!
Kkkkrrraaaakkkk.
Kurasakan tongkat kayu itu seperti pecah persis di belakang kepalaku. Tak ada lagi yang kuingat selain tawa puasnya yang bergema sesaat sebelum aku rebeh ke lantai.
***
Note:
Siat : iris tipis,sayat
Bedal : memukul (dengan tongkat,rotan,dsb)
Rebeh : terkulai
Ketika cinta tak lagi mengenal logika, rasa sakit yang bertubi-tubi yang ditimbulkan olehnya pun, tak lagi terasa menyiksa… Aih cinta… kenapa kau begitu misteria?
Huaaaaa…. Masokiissss 🙁
sadis!!! 😛
Teh Orin demen bgt ama kisah cinta yg sadis2 ya? hehehe beberapa kali yg aku ingat demikian. Di kisah ini ada beberapa gaya bahasa yang aku suka, salah satunya ‘menjelma abu’, top. Tapi entah mengapa merasa penulisannya sedikit berantakan, apa karena terburu2 ya Teh jadi beberapa tulisan ada yg tersuguhkan tanpa spasi, but overall, nice :bd
heuheu…kebetulan genrenya harus thriller, Sarah. dan kemarin ini posting dari hape, jadi begitulah…bnyak typo dan bentuknya pun aneh -__-“
Hih dasar cewe begooo!
sadis ih tanteee
Pingback: (FF250kata) – Skenario | Rumah Ide Ajen
Ngeri kAli ceritanya.
sadis sekali…
*gasp!
Beneran deh nahan napas gw bacanya.
Cerita sadisss….
Pingback: [FF250Kata] Baju Baru | AttarAndHisMind
Seremmmm *tutup mata*
Rin, logika lukanya itu gimana ya? Apakah luka, atau bekas luka? Atau lukanya itu selalu dibuatnya berulang2 sampai si dia dewasa?
di bayanganku sih bekas luka (krn udah ada dr kecil) tapi suka dia iris2 lagi sendiri Ka hahahaha *kok serem bgt*
Ih, masokis ya? Ngeriiii!
Oh iya, ‘menguar dari tubuhnya’ mungkin udah cukup, Mbak Orin. Jadi nggak perlu ditambah ‘keluar’.
Dan luka itu maksudnya bekas luka, kali, ya?
Aku suka diksinya :*
thanks Dit masukannya, udah aku edit 🙂
Jadi pria itu makhluk lain? Dihantam pemukul kasti tp senyumnya berderai? Mungkin karena ada jeda lompatan alurnya kurang smooth *komen sotoy
Pingback: kalau cinta, mengapa menyakiti? | SURAUPUSAKA
hadeuh sadis amat rin hahahah
hwa…. cinta yang aneh 😀
Pingback: [#ff250kata] SEQUEL: CEMBURU | JUNIORANGER
cinta yang tega..cinta .. oh cinta..
Ish … inii sadisss sekalii, Oriin 😥
haduh ini 17 tahun keatas ya ada pertumpahan darah 🙂
wah, ceritanya kalau di film ini bergenre slasher.. serem
Seremmmm….
Memang kalau sudah terlanjut cinta, logika pun terkalahkan..
begini jadinya kalo dua orang yang sama-sama punya ‘kelainan’ jadi sepasang kekasih.
Merinding, Orin…kebayang kalo kejadian itu ada di depan mata saya, naudzubillah min dzalik…
🙁
#ngriiiii#
Aahhh Orin, ngerii ah