(Semacam) sekuel dari cerita yang ini
***
Entah siapa yang meniupkannya, atau bagaimana asal muasalnya, berita itu akhirnya menyebar.
“Anda ini seorang guru yang seharusnya memberikan teladan kepada murid-murid, Bu Irma. Bagaimana dewan sekolah akan bereaksi jika mereka tahu Ibu berpacaran dengan salah satu murid?”
“Bu Irma ini usianya berapa? Anak itu berapa? Ibu ‘kan guru matematika, masa tidak bisa menghitung selisih usia Ibu dengan dia, sih?”
“Apakah tidak ada pria seusia kamu yang bisa dijadikan pacar? Jangan merusak anak orang seperti itu, Jeng.”
“Mmm…apa betul Ibu Irma itu pedofil?”
“Putusin aja lah si berondong itu, Ir. Lo pikir deh, kapan dia bakalan ngelamar lo buat merit, coba? Pas dia udah mapan lo udah keburu keriput!”
Bertubi-tubi, berbagai nasehat-hujatan-kalimat beraroma sinis ditujukan untukku sesaat setelah berita itu terdengar. Bapak kepala sekolah yang (sok) bijak, guru BK yang usil, salah satu murid kepo bin rese, hingga sahabat dekatku semasa kuliah, mereka seperti berkolaborasi menjadi tokoh antagonis dalam drama cintaku bersama Matahari. Memuakkan.
Tapi mungkin mereka memang benar-benar tidak tahu, lelaki cenderung tidak mau perempuannya lebih pintar dari dirinya. Setidaknya begitu pengalamanku sebelumnya, lelaki-lelaki yang mendekatiku mundur teratur saat mereka tahu aku adalah perempuan yang tidak bisa mereka bodohi. Sebagian lagi memanfaatkan kelebihanku untuk kepentingan mereka sendiri, aku tidak mau lagi tertipu, mengerjakan skripsi misalnya, dengan alasan bodoh semacam aku melakukannya atas nama cinta.
Berbeda dengan Matahari, dia justru mengagumi kepintaranku, dengan kebeliaan yang dimilikinya, dia tulus menyukaiku layaknya seorang lelaki tertarik pada perempuan. Saat aku mulai mengajar di sekolah ini, dia sudah kelas XII, sementara aku khusus mengajar murid-murid kelas X. Di awal kedekatan kami, dia hanya bertanya bagaimana aku bisa menerima akselarasi hingga berkali-kali, dia ingin tahu bagaimana aku memenangkan olimpiade matematika, dia penasaran bagaimana aku bisa menerima beasiswa untuk kuliah di Jerman.
Tidak ada niat terselubung atau strategi ‘ada udang di balik batu’ atau semacamnya. Kami benar-benar jatuh cinta. Lagipula usia kami ‘cuma’ terpaut sepuluh tahun, tak ada yang ingin cepat-cepat menikah, tapi sepertinya aku lupa, saat aku memilih sikap yang tidak biasa, terkadang hal itu identik dengan melakukan kesalahan. Blah.
Sebentar lagi malam, tapi bus kota yang sedang aku tunggu tak juga datang. Dari halte tempatku berdiri, sekolah terlihat sepi, dan akan semakin sepi tanpa Matahari yang sudah lulus dan berencana kuliah di Bandung. Tapi syukurlah, setidaknya dia akan terbebas dari segala tudingan yang menyesakkan hati ini. Atau, haruskah aku melepasnya pergi dari kehidupanku?
Suara klakson motor menghentikan lamunanku. Hei, itu pacarku!
“Hai ibu guru cantik, yuk aku anterin pulang,” sapanya dari balik helm. Membuatku tertegun beberapa saat.
Ah, yang akan terjadi, terjadilah. Aku tak ingin peduli, setidaknya untuk saat ini. Aku tersenyum, lantas membuat diriku nyaman di belakang Matahari, sebelum motornya melaju bersamaku, bersama cintaku.
***
Note : 442 kata
Ditulis khusus untuk MFF, prompt #17, dengan ke-geje-an tingkat kecamatan seperti biasanya halah qiqiqiqi
Yg penting asik yaa bu guru cantik
Wah keren! Bisa bikin sekuel dari berbagai ide #MFF
Saya tunggu kelanjutannya ya ^_^
Koreksi sedikit, ya.
“Hai ibu guru cantik, yuk aku anterin pulang.” Sapanya dari balik helm. Membuatku tertegun beberapa saat.
Karena menggunakan kata ‘sapanya” makan sebelum tanda petik memakai koma bukan titik.
10 tahun mah dikit, buuu…. xixixi..
#hiburan sore hari dari Orin. 😛
tenang buu… ada yg lebih dari 10 tahun malaah.. hehe… *nglirik tulisan di draft yg senafas dg ini..hehe*
co cuuiitt. >_<
jadi inget sama pelm Thailand, ceritanya persis.
Cinta bersemi tak kenal tempat, suasana, waktu dan usia. Berbahagialah bu guru dan matahari 🙂
Aah… cerita jendela dan matahari ternyata masih terus berlangsung….n
lanjutkan Bu Guru 🙂
Iiih… mbak Orin lomantis :*
Yoo,, langsung dibikin novel ajah,,,
kalau udah cinta gimana atuh ya 🙂
asik2, mestilah cinta dijadikan alasan, #tsahhh 😀
Aduh, aku nggak yakin si muridnya itu serius suka sama dia…
hanya karena tidak sesuai kebiasaan saja dianggap salah..
padahal agama juga ga ngelarang kok
10 tahun ma gak terasa asal masih kuat wekekekek