Pekikan anak-anak kecil yang sedang saling berteriak gembira di halaman belakang terdengar hingga ke tempatku, sebuah ruang tamu kecil bergaya klasik bernuansa putih dan coklat, dengan furniture rotan dan bunga-bunga segar di hampir setiap sudut. Bisa aku lihat di benakku, anak-anak itu berlarian berkejaran, bermain petak umpet atau entah apa, seperti melupakan hidup telah berlaku tak adil pada mereka, bahwa mereka selalu tidak apa-apa dan baik-baik saja. Aku tahu dan mengerti rasa yang seperti itu, walaupun masa-masa itu telah lama berlalu.
“Maaf ya, Mbak. Lama menunggu.” Seorang wanita anggun melangkah masuk, aku berdiri dan menjabat tangannya. Rambut kelabunya yang digelung berhias bunga entah apa menarik perhatianku. Wanita ini betul-betul penyuka bunga rupanya.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya berterima kasih Ibu sudah bersedia menerima saya di tengah kesibukan Ibu..”
“Panti Asuhan kecil kami terkadang memerlukan sedikit publikasi seperti ini, Mbak.” pipi kirinya berdekik saat dia tersenyum, cantik. Dekik itu mengingatkanku pada seseorang, entah siapa.
“Jadi panti ini Ibu namai sesuai dengan nama Ibu, begitu?” pertanyaan pertamaku,Β recorderΒ sudah menyala, bersiap mencatat. Wanita di depanku tergelak, suara tawanya renyah, membuatku segera tertular untuk ikut tertawa bersamanya, walaupun aku belum mengerti apa yang kami tertawakan.
“Itu ide almarhum suami saya, Mbak. Dia bilang gini, namamu cantik, secantik wajah dan hatimu,” ujarnya tersipu, pipinya sedikit merona, “jadi kalau nama Panti Asuhan ini ‘Kasih’, mudah-mudahan anak-anak kurang beruntung yang ada di sini kelak, juga tetap menjadi invidu secantik dirimu. Begitu katanya Mbak.” jelas wanita ini panjang lebar. Terlihat jelas dia begitu mencintai mendiang suaminya. Aku mengangguk-angguk mengerti.
Wawancara terus berlanjut, pertanyaan-pertanyaan yang aku persiapkan terjawab dengan baik. Wanita ini begitu hangat, dan dekik di pipi kirinya semakin membuatku akrab, seolah aku telah mengenal wanita paruh baya ini sejak lama. Wanita ini perempuan setia, wanita ini penyayang anak-anak, wanita ini dermawan, wanita ini jelita jiwa raga, wanita ini nyaris sempurna. Dan entah kenapa aku merasa perlu mencari dosa masa lalunya, sedikit noda saja, yang bisa membuat pembaca artikelku tentang wanita ini mengerti, bahwa dia hanyalah manusia biasa.
“Pertanyaan terakhir ya, Bu,” dia mengangguk, dekik di pipi kirinya ikut tersenyum, “apakah ada satu hal yang Ibu sesali? Sebuah kesalahan yang mungkin tak bisa ibu lupakan? Yang semacam itulah.” Wanita itu menatapku beberapa detik tanpa berkedip. Dekik di pipinya lambat laun menghilang. Pelan sekali, dia menarik nafas panjang, Β menunduk menatap lantai berwarna putih di antara kakinya.
“Saat itu saya masih muda sekali, seorang gadis yang masih naif, percaya akan bualan seorang pria, untuk kemudian hamil di luar nikah dan ditinggalkan begitu saja,” wanita ini mulai mengigiti kuku-kukunya, gelisah, “saya tidak mau menjadi pembunuh, saya biarkan janin itu tetap tumbuh, tapi kemudian saya meletakkan bayi perempuan yang masih berdarah itu di depan sebuah mesjid, untuk lari seperti pengecut.” tangisnya pecah. Aku tak bisa percaya apa yang kudengar.
“Tapi Tuhan Maha Pemaaf, Mbak. Saya mendoakan anak saya itu setiap saat, berharap dia juga sudi memaafkan saya,” lanjutnya lagi, dan dekik di pipi kirinya terlihat kembali. Detik berikutnya aku menyadari, dekik yang sama selalu aku lihat saat aku bercermin.
***
Note : 496 kata, sila klik banner-nya untuk ikutan bercerita π
hiks ternyata putrinya itu ada dihadapannya..
___
Begitulah ‘Ne π
Hmmmmm…..
Nama wartawannya siapa Teh ?
Rasa ingin tahu yang membongkar sejarah π
___
rahasia Cum *halah* hihihi
Ya ampun, dia anaknya ya? :O
___
kayaknya sih begitu he he
Cerita ini kalau dijadikan skenario film pasti bagus Mba…
___
aku msh belajar nih mba Zy nulis skript, mudah2an suatu saat bisa jg nulis skenario film mba, Aamiin π
duh.. ternyata
___
π
maafin atau nggak maafin ya….
___
pikir2 dulu katanya mbak hihihi
Jd wartawannya itu anaknya ya…
___
sepertinya begitu ya mas, mesti tes DNA dulu #eh? qiqiqi
bertemu dengan ibu…
___
akhirnya π
wartawati yg pintar cari sisi menarik..
silahkan pembaca menebak lanjutannya he..he..
___
tebak2 (tidak) berhadiah Bun hihihi
aiih… kisah yg keren, Rin… etapi, kenapa juga wartawan harus mencari noda narasumbernya utk jadi hotnews ya? *kepo…
___
Iseng aja sih Auntie, biar artikelnya ‘membumi’ ga ngawang2 bgt *halah* qiqiqi
hiyyaaaa.. orin.. jd merinding…
hiks…
___
Eh? kok merinding mbak? he he
ayo ngaku aja biar ibunya gak sedih π
___
heuheu…bisa jadi novel nih ya Teh π
ending yg mengejutkan π
___
Terima kasih π
Orin mo nanya donk, kalo FF itu memang “harus” selalu ada unsur kejutannya yaa #maaf kepo
___
Ngga harus sih kang, tapi sebaiknya memang begitu, ending twist (kejutan) jadi semacam ‘ciri khas’ dalam FF, begitu kira2 kang he he
Pengen tau endingnya Teh Orin π akhirnya nyadar gk sih kalo mereka ibu dan anak
___
kasih tau ngga yaa… hihihihi
Wah si mbak reporter canggih, bisa mengenali dekik ibunya saat masih bayi…
Dan cerita ini kereen.. endingnya bagus π
___
eh? kurang berhasil nih aku nulis berarti ya mba Yun heuheu
numpang senyum ya Teh π
keyeeeeennnnn…….
___
heuheu…tengkyu Sarah π
merinding bacanya Rin. Twistnya dapet banget. Gak nyangka.
___
heuheu…tengkyu Dan^^
ohhh ternyataaaaa π
___
begitulah Non hehe
penjabarannya asyik…. tapi twistnya terlalu generik menurutku. π
___
heuheu…terlalu biasa ya bang π
hmmm…aku merinding…
keinginan untuk mengorek aib itu agak mengganjal. bisa dibuat jembatan lain yang lebih pas untuk sampai ke ujung cerita.
clue bahwa Kasih adalah ibunya, juga kurang tajam. cuma ‘dekik’ kurang bisa dipakai untuk pegangan bahwa dia adalah ibunya.
ceritanya manis, though π
___
Tengkyu masukannya mbak La, memang harusnya jadi cerpen ya, aku pikir jg emang banyak bolongnya cerita ini π