“Kau tahu kenapa namaku Rain?” tanyamu saat pagi bergerimis yang magis menyapa. Aku diam, menunggumu menjawab sendiri pertanyaanmu.
“Karena pada saat seperti inilah aku terlahir.” Aku mengangguk seolah mengerti. Padahal sejujurnya aku bingung, bagaimana mungkin seseorang, seorang gadis tepatnya, bisa memiliki sebuah nama berbunyi ‘Rain’ seperti demikian? Tapi mungkin itu juga sebabnya aku hanya bertemu denganmu saat hujan datang.
“Ah, kau belum pernah dengar seseorang bernama Rain sepertiku yah?” Tebakanmu jitu, aku mengangguk cepat.
“Tak apa, itu wajar saja, Don. Tapi asal kau tahu, Leila S. Chudori, penulis terkenal itu, menamai putrinya juga dengan ‘Rain’.” Oh? Aku baru tahu, ternyata ada juga manusia bernama Rain di semesta raya. Tapi tetap saja, nama itu -menurutku- tidak lazim. Bagaimana nama itu diucapkan oleh seseorang yang tak mengenal pengucapan bahasa Inggris?
“Sudahlah, Don. Tidak perlu dipikirkan terlalu jauh,” katamu memutus tanya di benakku, sedikit merajuk.
“Akui saja kalau namaku bagus, unik, istimewa, oke?” Aku tergelak, dan sekali lagi, mengangguk-angguk. Rain memang nama yang bagus, unik, istimewa. Persis seperti yang kau bilang.
“Kau tahu, Don? Konon, Tuhan menciptakan hujan karena Dia kesepian.” Hah? Bagaimana mungkin? Bukankah banyak…
“Iya… tentu saja Tuhan punya banyak malaikat di sisiNya, tapi mungkin itu belum cukup.” Lagi, kau memotong pikiran di kepalaku. Tapi kali ini aku menggelengkan kepala berkali-kali, menolak untuk sepakat. Tidak mungkin Tuhan seperti Frankeinstein, yang menjadi monster mengerikan hanya karena kesepian. Walaupun hujan tentu saja tidak menyeramkan, bahkan sangat membahagiakan, setidaknya buatku.
“Terserah kaulah, Don. Tak apa kalau kau tak percaya. Nanti, kalau kau sempat pergi ke surga, kau akan membuktikan sendiri ucapanku tadi.” Kau merengut, membuatku sedikit tergelak. Lantas bertanya tanpa kata melalui tatapan mata apa maksudmu.
“Nanti kau akan tahu, di surga tidak akan pernah ada hujan turun.” Oh ya? Sungguh, aku kaget. Sepertinya aku tidak ingin berada di surga jika di sana tak ada hujan. Mungkin lebih tepatnya, aku tak mau berada di surga jika tanpamu, Rain.
“Aku tersanjung, Don.” Pipimu samar merona, aku menatapmu yang sedang menatapku, belum mengerti. “Tenang saja, Don, saat kau tiba di surga, aku sudah menunggumu di sana.”
“Bahkan, nanti kau tak perlu Diazepam lagi.” Binar matamu yang tersenyum begitu benderang. Membuatku tersipu, ternyata kau berbakat jadi cenayang, bisa membaca apa yang sedang kupikirkan. Imajiku berlarian ke sebuah tempat bernama surga.
Aku.
Kau.
Tanpa hujan.
Tanpa Diazepam.
Ah, sepertinya menyenangkan.
“Sayang sekali, Don, hujan mereda,” katamu memotong khayalku lagi.
Aku menatap ke luar jendela, kau benar, hujan hampir selesai, apakah itu artinya Tuhan sudah ada yang menemani? Pagi beranjak sunyi, gemericik rintik hujan tak terdengar lagi, dan aku benci saat kau harus ikut pergi kala hujan menghilang. Bolehkah aku berharap hujan turun dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, atau selamanya?
“Saat hujan menyapa, aku pun akan datang menemuimu, Don,” bujukmu perlahan. Enggan, aku mengangguk, menatapmu yang semakin samar.
“Kau harus ingat, Don, kalau tak ada perpisahan, rindu tak mungkin tercipta, dan pertemuan kembali tak pernah memiliki makna.” Aku tersenyum mengiyakan. Aku pasti merindukanmu dan hujan, Rain, bisikku tanpa suara.
Kau pun berpamitan, ditemani sinar matahari yang membuatmu mengasap.
***
Note : 500 kata
Manis. 🙂
uhuk2…..
ujannya dingin berrrrr
Aku akan menantimu kembali, Rain
Mendadak ikut murung seperti Bandung yang mendung sore ini
di medan baru ujan gede banget 🙂 nahh bisa ketemu dong ama si don hehe
Rain, langsung inget full house.. 🙂
saya suka banget hujan dan suasananya..asala jgn ada gekuduk atau petir aja..
absurd menurutku, Rin. siapa ‘gadis hujan ini’? apakah hanya khayalan Don semata, karena itu judul kisah ini ‘monolog hujan’?
ataukah dia semacam peri hujan yang lesap saat matahari mulai datang?
___
Baaaaang, aku sungguh terharu dirimu ngeh kalo ini cerita absurd *jejingkrakan*
Rain ?? kok difikiranku jadi ganteng yaa 😀 hehheee *Di toyor mba orin
langsung kepikiran nama aslinya : Jeong Ji Hoon, hahaha…
lagi musim ujan, dingin lho Rain 😀
ah indah sekali teh oriin..apa kbr?
Rain-nya udah gak ada kan yah? Atau Si Don cuma ngayal-ngayal imut sama sosok khayalannya?
namain ‘hujan’, terdengar biasa beda sama ‘rain’, terlihat keren.
Don… don jangan kebanyakan begadang ah, nggak baik buat kesehatan lho
iya, agak absurd. Teh Orin selalu membuat pembaca bertanya2. dan ini –> “Kau harus ingat, Don, kalau tak ada perpisahan, rindu tak mungkin tercipta, dan pertemuan kembali tak pernah memiliki makna.” ==>> keren, aku suka bahasanya 😀
Manis banget Riiin.
Aaaaak… masih hutang mengemail dirimu. Maafkan delay yang amat sangat lama sekali ini yaa.. 🙁
I love gerimis, mas … hehe 🙂
Monolog? Tentu, karna itu judulnya! Geje, absurb, ngomong sendiri, ngelantur? Yah, itulah yg gue tangkep, krn sbenernya gak ada yg gue tangkep, termasuk penokohannya. Gue cuma dpt kata2 yg manis. Udah, itu aja! IMHO
Mak Orin… kapan bisa ngopi bareng? Banyak hal yang pengen aku tanyain nih, alias mau nyuri ilmunya nge fiksi. Bhiik, tulisannya selalu bagus, ringan dan ngena
jadi janjian di surga gitu rin?