“Di kehidupanku yang sebelumnya, aku adalah seekor burung gereja.”
Hah?! Aku mengernyit seraya menoleh cepat ke arahnya. Entah sejak kapan lelaki tua gila itu duduk di sebelahku. Siapa dia yang berani-beraninya mengganggu ketenangan pagiku?
“Aku tidak peduli.”
“Itulah kenapa, aku selalu menyukai burung-burung kecil yang terlihat selalu ceria itu,” ujarnya lagi, seraya menunjuk tiga (atau empat?) burung gereja yang tengah bercericit ramai mencari sarapan di hamparan rumput di depan kami.
“Aku bilang, aku tidak peduli!” kataku lebih keras, khawatir telinga tuanya memang sudah tidak bisa mendengar normal.
“Dulu, kausuka sekali menemaniku memandang mereka berjam-jam, Maria.”
Apa katanya barusan? Aku? Menemaninya? Kapan?
“Memangnya siapa kamu?” tanyaku galak, sekaligus penasaran. Kali ini kuperhatikan rambut berubannya yang menipis. Mata tembaganya tengah menatapku, aku merasa mengenalinya, tatapan itu -entah bagaimana- membuatku merasa damai. Bibirnya tersenyum sejak tadi, tidak tersinggung dengan pertanyaanku yang super judes. Lelaki tua gila yang rupawan.
“Kauingat tidak, Maria? Aku pernah berkata padamu, di kehidupanku yang berikutnya, aku bersedia menjadi apa pun, selama Tuhan mengizinkan kau yang mendampingi hidupku.”
Aku geming. Kemarahanku atas gangguan tak diminta dari seorang lelaki tua gila yang terus menerus nyerocos ini, telah berubah menjadi sebuah kebingungan. Mungkinkah aku mengenalnya?
“Tidakkah kau ingat sesuatu tentangku, Maria?”
Aku masih saja diam. Bukannya apa-apa, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Siapa dia? Bagaimana dia mengenalku? Kenapa aku sama sekali tidak mengingatnya, sekaligus merasa begitu mengenalinya? Ah, lelaki tua gila itu sudah membuatku pusing sepagi ini!
“Maria, duduklah kembali,” kata Si Lelaki Tua Gila mengiba. Tapi aku tetap beranjak, perlahan mendekati bangku kayu bercat putih lain, beberapa langkah darinya. Aku merasa takut.
Aku masih bisa menatap dia dari bangku baruku, dan mata tembaga itu kembali menatapku. Bibir itu sekali lagi tersenyum. Tapi tetap saja, aku tidak bisa mengingat apa pun tentangnya.
Saat aku hendak beranjak menuju kamarku, seorang perempuan muda berseragam putih menghampiri lelaki itu. “Sabar ya, Pak Tejo, sepertinya demensia Ibu Maria semakin memburuk.”
***
“Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis FlashFiction – Tentang Kita Blog Tour”
***
Note : 318 kata
hahaha kukira lelaki tua itu hasil reinkarnasi…
endingnya gak nyangka euy 🙂
Kasihan ibu Maria. Dan kasihan juga Pak Tejo. Cakep banget, Teh 🙂
Selalu, selalu dan selalu. FF Mak Orin selalu icikiwiiirr
jd yg sbnernya gila itu si tokoh utama yaaa
semangat semoga berhasil 🙂
wah ternyata si dia masih ada keturunan darah burung gereja.
Endingnyaaaa >.<
jadi inget film notebook 🙂
aku emang inget Noah sm Ally pas nulis ini maaas hehehehe
hmm, rasanya kalau niat pak Tejo hendak mengembalikan kesadaran Maria, kalimat-kalimat puitis Tejo nggak tepat sasaran. Ibaratnya, mau nyebrang parit kecil tapi memutar dulu ke gang lain. 🙂
hampir gila aku bacanya rin hehehe sampe ngulang baca
Gangguan ingatan ya?
Iya betul Jun, semacam pikun begitulah 😀
Kasian dua-duanya, Mbak.. 🙁
Ah twistnya keren Mbak.